IQNA

IQNA:

Kudeta dan Hancurnya Impian Demokrasi Suu Kyi

8:31 - February 04, 2021
Berita ID: 3475024
TEHERAN (IQNA) - Kudeta militer Myanmar pada hari Senin terhadap pemerintah pemimpin partai yang berkuasa Aung San Suu Kyi menunjukkan di atas segalanya bahwa bahkan sikap bungkam dan dukungan Suu Kyi terhadap pembunuhan Muslim Rohingya tidak dapat membujuk para pemimpin militer untuk mengizinkan putri pahlawan kemerdekaan Myanmar untuk memajukan demokrasi.

IQNA melaporkan, situasi menjadi lebih rumit dari sebelumnya setelah tentara Myanmar menangkap Aung San Suu Kyi dan beberapa politisi lainnya dalam tindakan yang tidak terduga pada hari Senin. Selain Suu Kyi, ratusan anggota parlemen ditahan oleh militer pada Selasa di rumah pemerintah mereka di ibukota politik Myanmar, Naypyidaw.

Kudeta ini terjadi ketika anggota baru parlemen Myanmar dijadwalkan menghadiri sidang pertama parlemen; Perwakilan, yang sebagian besar adalah anggota Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dipimpin oleh Suu Kyi. Militer demikian juga mengumumkan bahwa mereka telah mengendalikan negara selama setahun di bawah undang-undang darurat tersebut.

Dengan ini semua, terlepas dari protes global atas kudeta Myanmar, yang bahkan memprovokasi Cina (mitra politik dan perdagangan terpenting Myanmar), pemerintah semi-demokrasi yang dijalani Aung San Suu Kyi sekarang tampaknya telah melakukan kudeta terhadapnya dan demokrasi di Myanmar telah kembali ke sistem junta (kekuasaan militer).

Kudeta dan Hancurnya Impian Demokrasi Suu Kyi

Berbagai poin dapat diisyaratkan sebagai akar dan alasan kudeta militer ini. Mungkin salah satu alasan utama kudeta itu adalah kegagalan Suu Kyi dalam mengelola Myanmar. Pemerintah Myanmar secara tidak resmi telah diberi sanksi oleh Amerika Serikat atas masalah hak asasi manusia sejak pertengahan 1990-an (di bawah undang-undang Massachusetts Burma, yang membatasi entitas pemerintah untuk membeli layanan perusahaan yang berbisnis dengan Myanmar/Burma). Meskipun undang-undang Massachusetts kemudian dicabut karena alasan hukum, sanksi menjadi formal setelah 2007 dan tindakan keras terhadap protes oposisi yang dikenal sebagai Revolusi Saffron, menyebabkan ekonomi Myanmar mengalami banyak masalah. Sanksi-sanksi ini sebaliknya dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa dan Kanada terhadap Myanmar dalam bentuk lainnya. Namun, sanksi tersebut agak berkurang pada tahun 2012 karena pembebasan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah dan peningkatan kebebasan sosial dan politik di Myanmar oleh pemerintah militer pada tahun 2012, dan tampaknya karena kemajuan demokrasi di Myanmar, perekonomian negara ini juga bisa berangsur pulih.

Sementara itu, setelah serangan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya dan tidak adanya tanggapan yang tepat dari Suu Kyi, yang diungkapkan sebagai kesepakatan implisit untuk pelanggaran hak asasi manusia dan genosida minoritas Muslim Myanmar, pandangan dunia tentang Myanmar berubah dan kritik terhadap Suu Kyi semakin meningkat. Menurut para pengamat, Suu Kyi sengaja bungkam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut karena tidak ingin kehilangan kepercayaan dari tentara dan pengikutnya yang beragama Buddha. Kritik itu meluas sehingga pemerintah Gambia, atas nama negara-negara Muslim, secara resmi menuntut Suu Kyi di Pengadilan Internasional di Den Haag dikarenakan membunuh minoritas Rohingya, dan menyeret pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1991 itu ke Den Haag.

Sebuah isu yang dikutip oleh beberapa orang di tengah reaksi global terhadap kudeta Myanmar adalah pengabaian terhadap minoritas Rohingya.

Kudeta dan Hancurnya Impian Demokrasi Suu Kyi

Suu Kyi, yang setuju untuk menutup mata atas kejahatan mereka terhadap minoritas Muslim Rohingya untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan militer, kini membuat mereka marah yang menghancurkan mimpinya tentang demokrasi dalam waktu kurang dari 10 tahun. Baik Suu Kyi akan kembali berkuasa atau tidak. (hry)

 

3951589

Kunci-kunci: iqna ، kudeta ، Impian Demokrasi ، Suu Kyi
captcha